Halaman

Sabtu, 09 November 2013

Yang Terdalam



Langit Jogja mulai menggelap. Lampu-lampu mulai menyala. Wajah-wajah lelah rindu rumah mulai berhamburan di jalanan. Wajah-wajah lelah kelaparan mulai memasuki kedai makanan. Dan bintang-bintang mulai berhamburan di langit menambah suasana malam semakin hiruk pikuk.
Joya termasuk ke dalam wajah-wajah lelah rindu rumah dan juga kelaparan. Mata kuliah hari ini cukup membutuhkan pembakaran karbohidrat lebih banyak untuk diubah menjadi energi. Aktivitas hari ini kumulai pukul tujuh pagi, dan saat kembali pulang kudapati langit sudah berubah warna menjadi gelap. Dan sebelum pulang, dia memutuskan mampir ke suatu swalayan untuk mengisi perut yang sudah bermain jazz kelaparan dengan sedikit makanan.
Swalayan itu tak begitu jauh dari jalan keluar kampus. Jadi tak akan bertambah lelah untuk berjalan sebentar. Seperti biasa Joya memilih menggunakan bus trans untuk ke kampus. Dia tak terlalu terbiasa untuk bersabar menghadapi macetnya kota Jogja. Karena itu akan membuatnya kehilangan banyak waktu yang lebih berharga daripada sekedar bersabar menghadapi macet.
Tujuan pertamanya adalah lemari pendingin minuman yang terletak di pojok belakang swalayan. Joya sudah tidak tahan dengan dehidrasi yang semakin mengubah tenggorokannya segersang gurun sahara di afrika, atau bahkan mulai lebih gersang daripada itu. Mungkin ini cukup dramatis juga.
“Joy!”teriak seorang perempuan seusianya dari meja kasir.
Joya menoleh ke asal suara itu dan mendapati Mura, teman satu kelasnya sedang mengeluarkan beberapa makanan dari keranjang yang ditentengnya. Dia berdiri di tempat kasir dengan keranjang bawaan penuh dengan makanan dan minuman. Terkadang Joya heran melihat Mura. Dia sangat hoby sekali makan, namun bentuk tubuhnya cukup kurus. Joya pun segera berjalan menghampirinya di kasir.
“Gue ambil satu nggak boleh ya?”ucapnya sambil mengambil sebungkus tortilla ukuran besar.
“Kalo lo ikut bayar boleh sih.”ucap Mura dengan cepat merebut tortillla dari tangan Joya .
Mereka pun tertawa. Ini sungguh ekstrem. Keranjang yang dibawa Mura penuh berisi makanan, kripik, roti, dan minuman. Semua makanan yang dibelinya pun berukuran jumbo. Dan Mura adalah satu-satunya perempuan yang pernah dijumpai Joya yang lebih menyukai belanja makanan daripada alat kosmetik seperti kebanyakan perempuan.
Joya semakin melotot keheranan saat melihat angka yang tertera di mesin kasir.”87800?”tanyanya kaget.
Dia hanya mengangguk dan mengambil selembar uang berwarna biru dan dua lembar uang berwarna hijau.
“Lo yakin bisa ngabisin itu semua?”
“Yakin banget, Joy.”jawabnya mantap.
“Berapa hari?”
“Tergantung.”ucapnya sambil menenteng sekantong plastik besar berisi makanannya.”Kalau lagi nggak ada kerjaan, satu hari juga bakal ludes.”
“Dasar rakus!”
“Nih buat lo!”sodornya sebungkus tortilla ukuran sedang pada Joya.
Wajah Joya mulai terlihat bersinar saat Mura menyodorkan sebungkus tortilla. Dan Joya merasa sangat beruntung malam ini. Tuhan amat sangat baik, di saat kelaparan Dia mengirimkan makanan gratis lewat hambaNya yang bernama Mura. Syukurlah, ucapnya dalam hati.
“Aku duluan deh, Joy. Makanan di kos udah telfon minta dimakan tuh.”pamit Mura.
“Yaudah deh. Hati-hati Ra, belanjaannya dipegang erat-erat deh nanti dirampok orang.”godanya.
“Gue mampusin rampoknya.”ucap Mura sambil mengepalkan tangan kurusnya.
“Segitu amat?”tukasnya keheranan.
Mura pun berjalan menuju pintu keluar dengan menenteng kantong plastik besar berisi calon penghuni perutnya. Dan tak beberapa lama dia sudah berada diluar dan mulai menghilang di balik lalu lalang para pengguna trotoar.
Sesuai inginnya, Joya segera menuju lemari pendingin untuk mencari minuman. Dehidrasi yang dialaminya mulai menjalar. Dia membuka lemari yang pertama lalu mengambil sebotol minuman ion yang iklannya menampilkan sekumpulan remaja perempuan yang menamai dirinya idol grup yang sekarang sangat ngetrend menjadi idola remaja. Sayangnya minuman itu terletak deretan paling bawah.
Joya mulai membungkuk dan memilih minuman yang paling dingin. Menurutnya, saat kehausan minuman yang paling tepat adalah bersuhu dingin. Sensasi air yang mengguyur tenggorokan akan lebih terasa.
Diambilnya sebuah botol di barisan paling kiri nomor empat dari depan. Menurutnya suhu dinginnya pas untuk mengobati rasa haus yang menyiksa tenggorokan. Saat dia mulai mendongak dan menutup pintu lemari pendingin, Joya sedikit terpaku dengan bayangan yang terpantul samar-samar di pintu lemari pendingin.
Jantungnya berhenti untuk beberapa detik. Dia sedikit terperanjat dan keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Wajah itu, iya Joya masih sangat mengenalinya untuk sekian lama yang sangat lama. Walaupun dia sedang menunduk terpaku pada benda yang dipegangnya, Joya masih sangat hafal potongan wajah dan postur tubuhnya setelah sekian lama yang sangat lama.
Joya mulai tersadar dari lamunannya ketika dia segera akan membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman. Seketika dia menjauh pergi agar tidak dikenali oleh laki-laki tadi. Beberapa detik yang cukup menguras hati, pikirnya.
Dia segera menuju kasir dengan pikiran yang masih tertinggal di tempat tadi. Disodorkannya sebotol minuman itu pada penjaga kasir dan dia mengeluarkan selembar sepuluh ribuan dari dalam dompetnya.
“Mbak, sekalian yang ini. Saya yang bayar.”ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menyodorkan minuman ke arah penjaga kasir.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari dompetnya.
“Hay Joy!”senyumnya menyapa Joya.
Joya hanya membalas senyuman manis dari sudut bibirnya.
Jio, yang Joya ingat dan akan selalu ingat dengan nama laki-laki itu. Jiyo pun menyodorkan minuman yang tadi dibeli oleh Joya. Dan dia mengajak Joya keluar bersamanya.
“Thanks ya Yo.”ucapnya singkat.
“Kebetulan banget kita ketemu. Apa kabar Joy?”
“Baik. Singkatnya lebih baik.”jawabnya singkat.
Joya masih berpacu dengan pertanyaan yang ada dalam otaknya dan perasaan yang dirasakannya. Langit Jogja yang menggelap ternyata merintikkan tangisan yang perlahan semakin deras malam itu. Mereka berdua belum sempat beranjak dari swalayan itu. Dan mereka memutuskan berteduh disana sampai malam mulai berbaik hati menghentikan tangisannya.
Hampir lima menit berlalu tak ada sedikit suara pun yang keluar dari mulut dua manusia yang baru saja bertemu semenjak setahun lamanya mereka berpisah. Yang terdengar hanya suara alam yang menangis dan berteriak dengan sambaran kilatnya.
Joya, suasana hatinya mungkin terwakili hujan malam itu. Dia tak berani membiarkan air jatuh dari matanya, itu akan cukup memalukan. Sementara itu, dia membiarkan langit menumpahkan air yang derasa agar bisa mewakili perasaannya.
Kehadiran Jio malam itu membuat Joya seakan berada dalam mesin waktu yang sengaja diciptakan Tuhan dan diberikan padanya malam itu. Dia merasa dalam dunia dimana hidupnya belum berubah sejauh Jio meninggalkannya. Alur waktu dan semua kenangan secara sistematis membentuk slide yang muncul satu persatu dalam otaknya. Dan hatinya, hatinya sekuat hati untuk menahan perasaan bahagia sekaligus sakit. Dan matanya, matanya tak berani memandang sedikitpun agar dapat menyembunyikan semua rasa yang berkelahi dalam hatinya.
“Joy!”seru Jio sambil memerhatikan wajah Joya yang kosong.
Semua lamunan sistematis itu berhamburan. “Eh, iya?”ucapnya refleks.
“Kamu mikir apa sih?”
“Nggak ada kok. Cuma mikir aja kapan pulangnya kalau makin deres gini.”
Jio hanya mengangguk pelan mendengar jawaban singkat Joya.
“Kamu apa kabar Yo?”tanya Joya pada akhirnya.
“Lumayan baik.”jawab Jio pendek.
“Lumayan?”
“Ya, nggak buruk-buruk amat tapi juga nggak baik-baik amat.”
Senyum manis tersungging di sudut bibir Jio, dan Joya masih ingat dengan senyum itu.
“Jio tambah tinggi ya. Atau karna Joya nggak tinggi-tinggi ya Jio jadi kelihatan tinggi.”ucap Joya sambil mengukur tingginya yang hanya pas pada telinga Jio.
“Kalo Joya tambah kurus ya. Atau karna Jio yang tambah gendut ya Joya jadi kelihatan kurus.”balas Jio
Mereka pun tertawa. Dan ini untuk pertama kalinya.
“Kebetulan banget ya Joy kita ketemu. Kamu seneng nggak kita ketemu lagi?”tanya Jio.
Joya sedikit kaget dan bingung menjawabnya.”Kamu punya inisiatif darimana tanya kayak gitu? Faktor sosial sama faktor psikologi apa yang bikin kamu tanya gitu?”
“Duh mentang-mentang mahasiswa jadi kepo kayak gitu.” Jio tertawa.
“Menurut kamu aku seneng nggak?”
Jio terdiam sejenak.
“Nanti kalau aku ngomong seneng dikira ke PDan, kalau ngomong nggak seneng nanti dikira sok tahu.”jawabnya singkat.
Joya tertawa mendengar jawaban Jio.
“Kamu tuh nggak berubah ya Yo dari dulu, nggak pernah yakin sama yang kamu pilih.”komentar Joya.”Di dunia ini nggak ada yang kebetulan. Semua sudah ada yang ngatur, termasuk kita ketemu hari ini.”
Jio terdiam mendengar komentar Joya.
“Kadang aku mikir, Jogja itu luas banget ya saat kita sudah putus.”lanjut Joya.”Pas kita masih barengan tiap sudut Jogja selalu ada Jio. Tapi pas putus, tiap sudut Jogja nggak pernah muncul wajah Jio.”
“Mungkin biar Joya bisa lupa sama Jio.”
Joya tertawa kecil.“Sesederhana itu Yo?”
Pertanyaan Joya membungkam mulut Jio. Jio duduk di teras swalayan itu dengan memandang Joya dari belakang. Sementara itu, Joya berdiri membelakangi Jio dan tepat di depannya air hujan turun deras.
“Kamu masih sakit hati?”tanya Jio.
“Dulu ada yang bilang, sesuatu itu jangan dirasakan tapi dinikmati. Aku masih ingat itu dan menerapkannya saat kamu ninggalin aku dulu Yo.”tukasnya.”Aku nikmatin setiap saat tanpa kamu, dan sakit itu hilang sendiri kok. Aku nggak harus banyak menangis untuk membencimu, aku cukup menangis sekali saat kamu pergi dan berjanji tidak akan membenci apapun yang kamu lakukan sama aku Yo.”
Dia berkata panjang lebar masih tetap membiarkan Jio membisu di belakangnya. Jio kemudian berdiri dan menjejeri Joya. Dia memandang lekat-lekat wajah Joya yang terdiam memandang hujan.
“Kenapa Yo? Segitu banget lihatinnya, kangen banget ya?” tanya Joya sambil tertawa lepas.
“Iya, aku kangen banget disabarin sama kamu Joy.”
Joya tertawa.
“Aku serius Joy. Kenapa Tuhan seakan-akan menghukum aku ya? Karna aku ninggalin orang yang tulus sama aku, sekarang aku nggak pernah ditulusin sama orang.”
“Seleksi alam itu lebih kejam Yo.”ucap Joya.
“Jangan bikin tambah galau deh Joy.”
Joya hanya tersenyum.
“Kadang aku mikir, biarpun Jogja semakin bertambah luas saat kita putus, biarpun waktu nggak pernah biarin kita ketemu sedetik pun, tapi aku bersyukur selagi bulan yang kita lihat masih sama aku masih merasa bahagia.”lanjutnya.”Biarpun kita berada di tempat yang berbeda.”
“Kamu masih sayang sama aku nggak Joy?”tanya Jio tiba-tiba.
Joya terperanjat dengan pertanyaan Jio. Wajahnya heran dan bingung bagaimana Jio bisa mengeluarkan pertanyaan seperti itu.
“Aku PD banget ya?”ucap Jio pelan. Dia mengeluarkan secarik kertas usang berwarna coklat yang dilipat rapi dari dalam dompetnya. Perlahan kertas itu mulai dibuka. Dan Joya hanya melihat apa yang dilakukan Jio.”Kamu masih ingat kertas ini?”sodornya.
Joya mengambil kertas itu dari tangan Jio. Dia masih ingat tulisan siapa dan tulisan apa yang ada di kertas itu. Dia tersenyum dan mulai tak mampu menahan matanya yang mulai berkaca-kaca. Di kertas itu tertulis nama Jiovanka Dharmawan, tulisan tangan Joya dan Arini Ajoya Puspaningrum, tulisan tangan Jio. Kedua nama itu dipisahkan oleh simbol “love” kecil dan tertulis begitu rapi. Dia menengadah memandang Jio dengan ekspresi wajah yang menanyakan sesuatu.
“Kamu pasti heran aku masih menyimpannya.”ucap Jio.”Kertas itu tersimpan rapi di dompet dari dulu sampai sekarang, dan aku baru menemukannya beberapa waktu lalu saat mentransmigrasikan isi dompet yang tidak penting.”
Joya masih diam berkaca-kaca menatap secarik kertas harta karun kenangannya.
“Aku bodoh ya Joy ngarepin ada kesempatan untuk kedua kalinya?”
“Setiap orang pasti mendapat kesempatan kedua, tapi tergantung orang itu mau ngambil apa enggak Yo.”komentarnya.
“Kamu mau ngambil nggak kesempatan kedua itu?”
“Kesempatan kedua buat kita barengan lagi?”tanyanya dan Jio mengangguk pelan.
Mereka saling berhadapan. Joya memberanikan diri untuk memandang lekat-lekat mata Jio. Dia membiarkan Jio mendapatkan jawaban lewat matanya. Matanya yang langsung terhubung dengan hatinya. Dan untuk beberapa detik yang lama mereka saling mencoba mengerti apa yang ada dalam hati masing-masing lewat mata yang mereka tatap.
Air mata mulai membasahi pipi Joya yang memanas. Menimbulkan sensasi dingin yang aneh.
“Setelah sekian lama Yo kita nggak pernah ketemu, setelah dulu kamu pergi tanpa pamit sama aku, setelah dulu kamu ninggalin aku tanpa ngasih aku kesempatan buat bilang setuju, kamu sekarang seenaknya dateng minta apa yang aku perjuangkan untuk dilupakan?”tanya Joya lekat-lekat menatap Jiyo.
“Jadi kita udah nggak bisa balik?”
Joya menggeleng dan semakin terisak. Wajahnya hanya bisa menunduk. Suara hujan sedikit mengaburkan suara tangisan Joya. Air mata itu tak mampu ditampungnya lagi. Jio menarik Joya dalam pelukannya. Joya pun semakin terisak.
Mungkin ini untuk pertama kalinya bagi Jio melihat Joya menangis di hadapannya. Yang dia tahu, Joya hanya menangis di persembunyiannya dan tak pernah dihadapannya. Dia baru menyadari betapa Joya tulus menyayanginya dan mungkin sampai sekarang pun dari hatinya yang terdalam masih menyimpan nama Jio.
Jio menyesal. Andai waktu dapat diputar, dia ingin kembali di saat dimana dia tak harus meninggalkan Joya sendirian. Bahkan jika harus berakhir, Jio menyesal mengakhirinya dengan menyisakan luka pada Joya.
Dan kini waktu berbeda. Joya terlalu dalam menyimpan perasaannya sendirian tanpa orang lain ketahui bahwa dia menahan sakit karena tetap menyukai Jio seperti apa keadaannya sekarang. Dia tak pernah sedikitpun tak berusaha tersenyum saat mengingat Jio. Dia selalu membela Jio ketika sebagian hatinya yang terluka mengatakan jika Jio tak pantas untuk tetap diingat. Dan sebagian hati Joya yang masih menyukai Jio selalu memenangkan itu.
“Aku menyesal untuk setiap hal yang membuatku terlihat bodoh, maaf.”ucap Jio sambil mengusap air mata Joya.
“Yang ada di hati kamu saat ini bukan aku Yo. Sekalipun aku yang paling sabar menurut kamu, tapi aku bukan yang ada di pikiran kamu.”jelas Joya.
“Enggak Joy, aku tulus minta itu sama kamu.”
“Kamu minta kita barengan karna aku yang kamu anggap paling tulus bukan, tapi ada perempuan lain yang menurut kamu nggak lebih baik dari aku masih ada di hati kamu Yo. Kamu tahu gimana rasanya itu?”lanjutnya.”Perasaan aku sederhana Yo. Kalau kamu bahagia tanpa sama aku, aku nggak papa berjuang sendirian lagi sampai perasaanku ke kamu bener-bener habis.”
Jio hanya terdiam. Joya perlahan mulai terdiam dari tangisnya. Diraihnya tangan Jio erat-erat.
“Yang kamu butuhkan itu yang bikin kamu nyaman, sekalipun ada yang sabar ngadepin kamu tapi nggak bikin kamu nyaman itu percuma Yo. Pertemuan dan perpisahan kita nggak pernah kebetulan, semua sudah diatur dan kita tinggal menikmatinya.”lanjutnya.”Kamu terlalu bahagia dengan orang lain dan aku nggak pantes menghancurkan itu. Sisa perasaanku biar aku simpan di tempat yang terdalam ya Yo sampai kapanpun nggak akan aku lupain. Selama bulan yang kita lihat sama biarpun di tempat yang berbeda, aku masih bersyukur.”
Joya menarik nafas dalam-dalam.
“Aku sayang kamu Yo, cukup itu yang mewakili semua yang harus kamu tahu. Selebihnya, biar itu jadi urusanku.”
Mata Joya kembali meneteskan air. Dan Jio benar-benar membisu, matanya mulai sedikit berkaca-kaca. Jio memblas genggaman Joya erat-erat. Genggaman itu seakan sulit untuk dipisahkan lagi. Genggaman itu menggetarkan perasaan mereka masing-masing yang takut untuk dipisahkan lagi.
“Aku sayang kamu juga Joy, maaf.”ucap Jio mengakhiri percakapan singkat mereka malam itu dan memeluk Joya, untuk terakhir kalinya.
Pelukan itu masih tetap hangat dan membuat Joya merasa aman. Joya rindu itu, dia sangat merindukan itu. Namun, tak ada yang lebih baik kecuali melihat Jio lebih bahagia sekarang. Perasaan Joya memang membingungkan. Dia merasa kehilangan, namun tak ingin yang hilang itu kembali lagi. Yang dia tahu, dia sangat mencintai Jio dan membiarkannya lebih bahagia dengan siapa saja yang membuatnya lebih bahagia.
Hujan perlahan mereda. Deras itu kian memudar menjadi gerimis. Dingin mulai menusuk sekujur tubuh. Petir pun perlahan hilang. Dua manusia itu masih saling memeluk erat di tepian hujan. Pelukan itu semakin erat tanpa peduli orang melihatnya. Pelukan itu semakin erat seperti tak mau melepas untuk terakhir kalinya. Dan kenangan malam iu akan menjadi hal terindah seumur hidup bagi mereka, tentang apa itu yang disebut cinta, pengorbanan, dan bahagia.

End.


Malang, 09 November 2013

Ide ini mengalir begitu saja saat mendengar lagu Geisha Lumpuhkan Ingatanku, karena bahagia terkadang tidak harus egois tapi butuh berkorban :)

Percayalah untuk Suatu Saat Nanti




Kadang hidup harus berkorban. Mengorbankan hal yang sesungguhnya sulit terkorban sekalipun. Kamu tahu, saat sebuah film mensugesti pikiran kita untuk mulai berpikir bahwa hidup sulit selaras dengan keinginan ada semacam tekanan batin. Saat kegagalan bertubi-tubi memukul, kepastian akan keberhasilan akan ditanyakan. Sejauh mana perjuangan dikerahkan dan sekeras apa doa dikumandangkan. Percayakah kamu, jika kita tidak ditakdirkan disana sekeras apapun kita berjuang kesuksesan itu tak akan datang?
Percaya,
namun pada kenyataannya kegagalan selalu memberi pelajaran jika waktu belum berpihak kepada kita. Mungkin aku bisa melupakan begitu saja dan menerima kenyataan serta menjalani apa yang terjadi sekarang. Namun, hati bepikir lain. Sesak semakin terasa saat semakin jauh melangkah pergi semakin dekat dan meraung hati kita yang tertinggal di lumbung impian. Pada kenyataannya yang terucap tetap sulit.
Selagi aku masih hidup aku percaya, 0,00001% pun tetaplah kesempatan. Biarpun sangat kecil itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Selagi aku masih mampu berjuang akan kuperjuangkan, jika tidak sekarang mungkin nanti. Mimpi dan yang memimpikan satu paket, jadi kesuksesan perjuangan tak akan tertukar dengan pejuangnya. Aku masih punya satu kesempatan, selama aku masih hidup aku takkan berhenti memohon pada Tuhan untuk keberhasilan di kesempatan itu. Aku percaya pada pernyataanku sebelumnya, jika kesuksesan perjuangan tak akan pernah tertukar dengan pejuangnya. Tuhan yang menguatkanku saat aku bertubi-tubi gagal, Tuhan yang mengajarkanku bersabar saat hati sudah tak sabar. Dan Tuhan yang membuatku yakin sebentar lagi kesempatan menjemput mimpi itu akan datang padaku.
Percayalah,
hidup berawal dari apa yang kamu niati dengan tulus atas nama Tuhan dan orang-orang yang ingin kamu bahagiakan. Dan hidup akan berakhir dengan balasan dari Tuhan atas kegigihanmu dan persembahan membanggakan untuk orang yang akan kamu bahagiakan.

...................................................