Langit Jogja mulai menggelap. Lampu-lampu mulai menyala. Wajah-wajah lelah rindu rumah mulai berhamburan di jalanan. Wajah-wajah lelah kelaparan mulai memasuki kedai makanan. Dan bintang-bintang mulai berhamburan di langit menambah suasana malam semakin hiruk pikuk.
Joya
termasuk ke dalam wajah-wajah lelah rindu rumah dan juga kelaparan. Mata kuliah
hari ini cukup membutuhkan pembakaran karbohidrat lebih banyak untuk diubah
menjadi energi. Aktivitas hari ini kumulai pukul tujuh pagi, dan saat kembali
pulang kudapati langit sudah berubah warna menjadi gelap. Dan sebelum pulang,
dia memutuskan mampir ke suatu swalayan untuk mengisi perut yang sudah bermain
jazz kelaparan dengan sedikit makanan.
Swalayan
itu tak begitu jauh dari jalan keluar kampus. Jadi tak akan bertambah lelah
untuk berjalan sebentar. Seperti biasa Joya memilih menggunakan bus trans untuk
ke kampus. Dia tak terlalu terbiasa untuk bersabar menghadapi macetnya kota Jogja.
Karena itu akan membuatnya kehilangan banyak waktu yang lebih berharga daripada
sekedar bersabar menghadapi macet.
Tujuan
pertamanya adalah lemari pendingin minuman yang terletak di pojok belakang
swalayan. Joya sudah tidak tahan dengan dehidrasi yang semakin mengubah
tenggorokannya segersang gurun sahara di afrika, atau bahkan mulai lebih
gersang daripada itu. Mungkin ini cukup dramatis juga.
“Joy!”teriak
seorang perempuan seusianya dari meja kasir.
Joya
menoleh ke asal suara itu dan mendapati Mura, teman satu kelasnya sedang
mengeluarkan beberapa makanan dari keranjang yang ditentengnya. Dia berdiri di
tempat kasir dengan keranjang bawaan penuh dengan makanan dan minuman.
Terkadang Joya heran melihat Mura. Dia sangat hoby sekali makan, namun bentuk
tubuhnya cukup kurus. Joya pun segera berjalan menghampirinya di kasir.
“Gue
ambil satu nggak boleh ya?”ucapnya sambil mengambil sebungkus tortilla ukuran
besar.
“Kalo
lo ikut bayar boleh sih.”ucap Mura dengan cepat merebut tortillla dari tangan
Joya .
Mereka
pun tertawa. Ini sungguh ekstrem. Keranjang yang dibawa Mura penuh berisi
makanan, kripik, roti, dan minuman. Semua makanan yang dibelinya pun berukuran
jumbo. Dan Mura adalah satu-satunya perempuan yang pernah dijumpai Joya yang
lebih menyukai belanja makanan daripada alat kosmetik seperti kebanyakan
perempuan.
Joya
semakin melotot keheranan saat melihat angka yang tertera di mesin
kasir.”87800?”tanyanya kaget.
Dia
hanya mengangguk dan mengambil selembar uang berwarna biru dan dua lembar uang
berwarna hijau.
“Lo
yakin bisa ngabisin itu semua?”
“Yakin
banget, Joy.”jawabnya mantap.
“Berapa
hari?”
“Tergantung.”ucapnya
sambil menenteng sekantong plastik besar berisi makanannya.”Kalau lagi nggak
ada kerjaan, satu hari juga bakal ludes.”
“Dasar
rakus!”
“Nih
buat lo!”sodornya sebungkus tortilla ukuran sedang pada Joya.
Wajah
Joya mulai terlihat bersinar saat Mura menyodorkan sebungkus tortilla. Dan Joya
merasa sangat beruntung malam ini. Tuhan amat sangat baik, di saat kelaparan
Dia mengirimkan makanan gratis lewat hambaNya yang bernama Mura. Syukurlah,
ucapnya dalam hati.
“Aku
duluan deh, Joy. Makanan di kos udah telfon minta dimakan tuh.”pamit Mura.
“Yaudah
deh. Hati-hati Ra, belanjaannya dipegang erat-erat deh nanti dirampok
orang.”godanya.
“Gue
mampusin rampoknya.”ucap Mura sambil mengepalkan tangan kurusnya.
“Segitu
amat?”tukasnya keheranan.
Mura
pun berjalan menuju pintu keluar dengan menenteng kantong plastik besar berisi
calon penghuni perutnya. Dan tak beberapa lama dia sudah berada diluar dan
mulai menghilang di balik lalu lalang para pengguna trotoar.
Sesuai
inginnya, Joya segera menuju lemari pendingin untuk mencari minuman. Dehidrasi
yang dialaminya mulai menjalar. Dia membuka lemari yang pertama lalu mengambil
sebotol minuman ion yang iklannya menampilkan sekumpulan remaja perempuan yang
menamai dirinya idol grup yang sekarang sangat ngetrend menjadi idola remaja.
Sayangnya minuman itu terletak deretan paling bawah.
Joya
mulai membungkuk dan memilih minuman yang paling dingin. Menurutnya, saat
kehausan minuman yang paling tepat adalah bersuhu dingin. Sensasi air yang
mengguyur tenggorokan akan lebih terasa.
Diambilnya
sebuah botol di barisan paling kiri nomor empat dari depan. Menurutnya suhu
dinginnya pas untuk mengobati rasa haus yang menyiksa tenggorokan. Saat dia
mulai mendongak dan menutup pintu lemari pendingin, Joya sedikit terpaku dengan
bayangan yang terpantul samar-samar di pintu lemari pendingin.
Jantungnya
berhenti untuk beberapa detik. Dia sedikit terperanjat dan keringat dingin
mulai menetes dari pelipisnya. Wajah itu, iya Joya masih sangat mengenalinya
untuk sekian lama yang sangat lama. Walaupun dia sedang menunduk terpaku pada
benda yang dipegangnya, Joya masih sangat hafal potongan wajah dan postur
tubuhnya setelah sekian lama yang sangat lama.
Joya
mulai tersadar dari lamunannya ketika dia segera akan membuka lemari pendingin
untuk mengambil minuman. Seketika dia menjauh pergi agar tidak dikenali oleh
laki-laki tadi. Beberapa detik yang cukup menguras hati, pikirnya.
Dia
segera menuju kasir dengan pikiran yang masih tertinggal di tempat tadi. Disodorkannya
sebotol minuman itu pada penjaga kasir dan dia mengeluarkan selembar sepuluh
ribuan dari dalam dompetnya.
“Mbak,
sekalian yang ini. Saya yang bayar.”ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba
menyodorkan minuman ke arah penjaga kasir.
Laki-laki
itu kemudian mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari dompetnya.
“Hay
Joy!”senyumnya menyapa Joya.
Joya
hanya membalas senyuman manis dari sudut bibirnya.
Jio,
yang Joya ingat dan akan selalu ingat dengan nama laki-laki itu. Jiyo pun
menyodorkan minuman yang tadi dibeli oleh Joya. Dan dia mengajak Joya keluar
bersamanya.
“Thanks
ya Yo.”ucapnya singkat.
“Kebetulan
banget kita ketemu. Apa kabar Joy?”
“Baik.
Singkatnya lebih baik.”jawabnya singkat.
Joya
masih berpacu dengan pertanyaan yang ada dalam otaknya dan perasaan yang
dirasakannya. Langit Jogja yang menggelap ternyata merintikkan tangisan yang
perlahan semakin deras malam itu. Mereka berdua belum sempat beranjak dari
swalayan itu. Dan mereka memutuskan berteduh disana sampai malam mulai berbaik
hati menghentikan tangisannya.
Hampir
lima menit berlalu tak ada sedikit suara pun yang keluar dari mulut dua manusia
yang baru saja bertemu semenjak setahun lamanya mereka berpisah. Yang terdengar
hanya suara alam yang menangis dan berteriak dengan sambaran kilatnya.
Joya,
suasana hatinya mungkin terwakili hujan malam itu. Dia tak berani membiarkan
air jatuh dari matanya, itu akan cukup memalukan. Sementara itu, dia membiarkan
langit menumpahkan air yang derasa agar bisa mewakili perasaannya.
Kehadiran
Jio malam itu membuat Joya seakan berada dalam mesin waktu yang sengaja
diciptakan Tuhan dan diberikan padanya malam itu. Dia merasa dalam dunia dimana
hidupnya belum berubah sejauh Jio meninggalkannya. Alur waktu dan semua
kenangan secara sistematis membentuk slide yang muncul satu persatu dalam
otaknya. Dan hatinya, hatinya sekuat hati untuk menahan perasaan bahagia
sekaligus sakit. Dan matanya, matanya tak berani memandang sedikitpun agar
dapat menyembunyikan semua rasa yang berkelahi dalam hatinya.
“Joy!”seru
Jio sambil memerhatikan wajah Joya yang kosong.
Semua
lamunan sistematis itu berhamburan. “Eh, iya?”ucapnya refleks.
“Kamu
mikir apa sih?”
“Nggak
ada kok. Cuma mikir aja kapan pulangnya kalau makin deres gini.”
Jio
hanya mengangguk pelan mendengar jawaban singkat Joya.
“Kamu
apa kabar Yo?”tanya Joya pada akhirnya.
“Lumayan
baik.”jawab Jio pendek.
“Lumayan?”
“Ya,
nggak buruk-buruk amat tapi juga nggak baik-baik amat.”
Senyum
manis tersungging di sudut bibir Jio, dan Joya masih ingat dengan senyum itu.
“Jio
tambah tinggi ya. Atau karna Joya nggak tinggi-tinggi ya Jio jadi kelihatan
tinggi.”ucap Joya sambil mengukur tingginya yang hanya pas pada telinga Jio.
“Kalo
Joya tambah kurus ya. Atau karna Jio yang tambah gendut ya Joya jadi kelihatan
kurus.”balas Jio
Mereka
pun tertawa. Dan ini untuk pertama kalinya.
“Kebetulan
banget ya Joy kita ketemu. Kamu seneng nggak kita ketemu lagi?”tanya Jio.
Joya
sedikit kaget dan bingung menjawabnya.”Kamu punya inisiatif darimana tanya
kayak gitu? Faktor sosial sama faktor psikologi apa yang bikin kamu tanya
gitu?”
“Duh
mentang-mentang mahasiswa jadi kepo kayak gitu.” Jio tertawa.
“Menurut
kamu aku seneng nggak?”
Jio
terdiam sejenak.
“Nanti
kalau aku ngomong seneng dikira ke PDan, kalau ngomong nggak seneng nanti
dikira sok tahu.”jawabnya singkat.
Joya
tertawa mendengar jawaban Jio.
“Kamu
tuh nggak berubah ya Yo dari dulu, nggak pernah yakin sama yang kamu
pilih.”komentar Joya.”Di dunia ini nggak ada yang kebetulan. Semua sudah ada
yang ngatur, termasuk kita ketemu hari ini.”
Jio
terdiam mendengar komentar Joya.
“Kadang
aku mikir, Jogja itu luas banget ya saat kita sudah putus.”lanjut Joya.”Pas
kita masih barengan tiap sudut Jogja selalu ada Jio. Tapi pas putus, tiap sudut
Jogja nggak pernah muncul wajah Jio.”
“Mungkin
biar Joya bisa lupa sama Jio.”
Joya
tertawa kecil.“Sesederhana itu Yo?”
Pertanyaan
Joya membungkam mulut Jio. Jio duduk di teras swalayan itu dengan memandang
Joya dari belakang. Sementara itu, Joya berdiri membelakangi Jio dan tepat di
depannya air hujan turun deras.
“Kamu
masih sakit hati?”tanya Jio.
“Dulu
ada yang bilang, sesuatu itu jangan dirasakan tapi dinikmati. Aku masih ingat
itu dan menerapkannya saat kamu ninggalin aku dulu Yo.”tukasnya.”Aku nikmatin
setiap saat tanpa kamu, dan sakit itu hilang sendiri kok. Aku nggak harus
banyak menangis untuk membencimu, aku cukup menangis sekali saat kamu pergi dan
berjanji tidak akan membenci apapun yang kamu lakukan sama aku Yo.”
Dia
berkata panjang lebar masih tetap membiarkan Jio membisu di belakangnya. Jio
kemudian berdiri dan menjejeri Joya. Dia memandang lekat-lekat wajah Joya yang
terdiam memandang hujan.
“Kenapa
Yo? Segitu banget lihatinnya, kangen banget ya?” tanya Joya sambil tertawa
lepas.
“Iya,
aku kangen banget disabarin sama kamu Joy.”
Joya
tertawa.
“Aku
serius Joy. Kenapa Tuhan seakan-akan menghukum aku ya? Karna aku ninggalin
orang yang tulus sama aku, sekarang aku nggak pernah ditulusin sama orang.”
“Seleksi
alam itu lebih kejam Yo.”ucap Joya.
“Jangan
bikin tambah galau deh Joy.”
Joya
hanya tersenyum.
“Kadang
aku mikir, biarpun Jogja semakin bertambah luas saat kita putus, biarpun waktu
nggak pernah biarin kita ketemu sedetik pun, tapi aku bersyukur selagi bulan
yang kita lihat masih sama aku masih merasa bahagia.”lanjutnya.”Biarpun kita
berada di tempat yang berbeda.”
“Kamu
masih sayang sama aku nggak Joy?”tanya Jio tiba-tiba.
Joya
terperanjat dengan pertanyaan Jio. Wajahnya heran dan bingung bagaimana Jio
bisa mengeluarkan pertanyaan seperti itu.
“Aku
PD banget ya?”ucap Jio pelan. Dia mengeluarkan secarik kertas usang berwarna
coklat yang dilipat rapi dari dalam dompetnya. Perlahan kertas itu mulai
dibuka. Dan Joya hanya melihat apa yang dilakukan Jio.”Kamu masih ingat kertas
ini?”sodornya.
Joya
mengambil kertas itu dari tangan Jio. Dia masih ingat tulisan siapa dan tulisan
apa yang ada di kertas itu. Dia tersenyum dan mulai tak mampu menahan matanya
yang mulai berkaca-kaca. Di kertas itu tertulis nama Jiovanka Dharmawan,
tulisan tangan Joya dan Arini Ajoya Puspaningrum, tulisan tangan Jio. Kedua
nama itu dipisahkan oleh simbol “love” kecil dan tertulis begitu rapi. Dia
menengadah memandang Jio dengan ekspresi wajah yang menanyakan sesuatu.
“Kamu
pasti heran aku masih menyimpannya.”ucap Jio.”Kertas itu tersimpan rapi di
dompet dari dulu sampai sekarang, dan aku baru menemukannya beberapa waktu lalu
saat mentransmigrasikan isi dompet yang tidak penting.”
Joya
masih diam berkaca-kaca menatap secarik kertas harta karun kenangannya.
“Aku
bodoh ya Joy ngarepin ada kesempatan untuk kedua kalinya?”
“Setiap
orang pasti mendapat kesempatan kedua, tapi tergantung orang itu mau ngambil
apa enggak Yo.”komentarnya.
“Kamu
mau ngambil nggak kesempatan kedua itu?”
“Kesempatan
kedua buat kita barengan lagi?”tanyanya dan Jio mengangguk pelan.
Mereka
saling berhadapan. Joya memberanikan diri untuk memandang lekat-lekat mata Jio.
Dia membiarkan Jio mendapatkan jawaban lewat matanya. Matanya yang langsung
terhubung dengan hatinya. Dan untuk beberapa detik yang lama mereka saling
mencoba mengerti apa yang ada dalam hati masing-masing lewat mata yang mereka
tatap.
Air
mata mulai membasahi pipi Joya yang memanas. Menimbulkan sensasi dingin yang
aneh.
“Setelah
sekian lama Yo kita nggak pernah ketemu, setelah dulu kamu pergi tanpa pamit
sama aku, setelah dulu kamu ninggalin aku tanpa ngasih aku kesempatan buat
bilang setuju, kamu sekarang seenaknya dateng minta apa yang aku perjuangkan
untuk dilupakan?”tanya Joya lekat-lekat menatap Jiyo.
“Jadi
kita udah nggak bisa balik?”
Joya
menggeleng dan semakin terisak. Wajahnya hanya bisa menunduk. Suara hujan
sedikit mengaburkan suara tangisan Joya. Air mata itu tak mampu ditampungnya
lagi. Jio menarik Joya dalam pelukannya. Joya pun semakin terisak.
Mungkin
ini untuk pertama kalinya bagi Jio melihat Joya menangis di hadapannya. Yang dia
tahu, Joya hanya menangis di persembunyiannya dan tak pernah dihadapannya. Dia
baru menyadari betapa Joya tulus menyayanginya dan mungkin sampai sekarang pun
dari hatinya yang terdalam masih menyimpan nama Jio.
Jio
menyesal. Andai waktu dapat diputar, dia ingin kembali di saat dimana dia tak
harus meninggalkan Joya sendirian. Bahkan jika harus berakhir, Jio menyesal
mengakhirinya dengan menyisakan luka pada Joya.
Dan
kini waktu berbeda. Joya terlalu dalam menyimpan perasaannya sendirian tanpa
orang lain ketahui bahwa dia menahan sakit karena tetap menyukai Jio seperti
apa keadaannya sekarang. Dia tak pernah sedikitpun tak berusaha tersenyum saat
mengingat Jio. Dia selalu membela Jio ketika sebagian hatinya yang terluka
mengatakan jika Jio tak pantas untuk tetap diingat. Dan sebagian hati Joya yang
masih menyukai Jio selalu memenangkan itu.
“Aku
menyesal untuk setiap hal yang membuatku terlihat bodoh, maaf.”ucap Jio sambil
mengusap air mata Joya.
“Yang
ada di hati kamu saat ini bukan aku Yo. Sekalipun aku yang paling sabar menurut
kamu, tapi aku bukan yang ada di pikiran kamu.”jelas Joya.
“Enggak
Joy, aku tulus minta itu sama kamu.”
“Kamu
minta kita barengan karna aku yang kamu anggap paling tulus bukan, tapi ada
perempuan lain yang menurut kamu nggak lebih baik dari aku masih ada di hati
kamu Yo. Kamu tahu gimana rasanya itu?”lanjutnya.”Perasaan aku sederhana Yo.
Kalau kamu bahagia tanpa sama aku, aku nggak papa berjuang sendirian lagi
sampai perasaanku ke kamu bener-bener habis.”
Jio
hanya terdiam. Joya perlahan mulai terdiam dari tangisnya. Diraihnya tangan Jio
erat-erat.
“Yang
kamu butuhkan itu yang bikin kamu nyaman, sekalipun ada yang sabar ngadepin
kamu tapi nggak bikin kamu nyaman itu percuma Yo. Pertemuan dan perpisahan kita
nggak pernah kebetulan, semua sudah diatur dan kita tinggal
menikmatinya.”lanjutnya.”Kamu terlalu bahagia dengan orang lain dan aku nggak
pantes menghancurkan itu. Sisa perasaanku biar aku simpan di tempat yang
terdalam ya Yo sampai kapanpun nggak akan aku lupain. Selama bulan yang kita
lihat sama biarpun di tempat yang berbeda, aku masih bersyukur.”
Joya
menarik nafas dalam-dalam.
“Aku
sayang kamu Yo, cukup itu yang mewakili semua yang harus kamu tahu. Selebihnya,
biar itu jadi urusanku.”
Mata
Joya kembali meneteskan air. Dan Jio benar-benar membisu, matanya mulai sedikit
berkaca-kaca. Jio memblas genggaman Joya erat-erat. Genggaman itu seakan sulit
untuk dipisahkan lagi. Genggaman itu menggetarkan perasaan mereka masing-masing
yang takut untuk dipisahkan lagi.
“Aku
sayang kamu juga Joy, maaf.”ucap Jio mengakhiri percakapan singkat mereka malam
itu dan memeluk Joya, untuk terakhir kalinya.
Pelukan
itu masih tetap hangat dan membuat Joya merasa aman. Joya rindu itu, dia sangat
merindukan itu. Namun, tak ada yang lebih baik kecuali melihat Jio lebih
bahagia sekarang. Perasaan Joya memang membingungkan. Dia merasa kehilangan,
namun tak ingin yang hilang itu kembali lagi. Yang dia tahu, dia sangat
mencintai Jio dan membiarkannya lebih bahagia dengan siapa saja yang membuatnya
lebih bahagia.
Hujan
perlahan mereda. Deras itu kian memudar menjadi gerimis. Dingin mulai menusuk
sekujur tubuh. Petir pun perlahan hilang. Dua manusia itu masih saling memeluk
erat di tepian hujan. Pelukan itu semakin erat tanpa peduli orang melihatnya.
Pelukan itu semakin erat seperti tak mau melepas untuk terakhir kalinya. Dan
kenangan malam iu akan menjadi hal terindah seumur hidup bagi mereka, tentang
apa itu yang disebut cinta, pengorbanan, dan bahagia.
End.
Malang,
09 November 2013
Ide
ini mengalir begitu saja saat mendengar lagu Geisha Lumpuhkan Ingatanku, karena
bahagia terkadang tidak harus egois tapi butuh berkorban :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar